Bahasa
Gaul dalam Kegalauan Remaja
(sebuah
artikel ringan tentang bahasa remaja)
Pada tulisan ini, penulis akan berusaha
mencoba menggunakan bahasa se “gaul” mungkin, dengan tujuan agar pesan dalam
tulisan ini dapat sampai ke pembaca. Tulisan ini terinspirasi dari pembicaraan
dengan beberapa remaja baik secara langsung maupun melalui media sosial seperti
twitter dan facebook (*diam-diam mengamati dan mempelajari, hehe)
Bahasa
Gaul dan Kegalauan
Perkembangan jaman tidak hanya ditandai dengan
kemajuan teknologi akan tetapi ditandai juga dengan perubahan tata bahasa dalam
pergaulan remaja. Sejak awal tahun 1980, remaja memiliki bahasa jamannya
sendiri meskipun ada beberapa jenis bahasa “gaul” yang berbeda, akan tetapi
pada prinsipnya remaja tetap saja sama.
Pada tahun 1980 an muncul kata seperti
“brokap?”=berapa, “capcus ne”= pergi yuk, “akika”=aku, “cemungut eaa”=semangat,
“baryaw”=sabar ya, “brengkot”=brangkat, “unyu”=lucu, sudah sering terdengar,
dan sebetulnya pada waktu itu bahasa gaul hanya digunakan oleh kelompok
tertentu seperti kelompok waria, pergaulan salon dll, namun sekarang ini bahasa
gaul menjadi bahasa remaja secara umum bahkan ada yang mengatakan sebagai
bahasa “alay” atau berlebihan/dramatisir. Dan individu yang hidup dalam masa
“remaja” ini merasa bahwa mereka yang paling “cool” (baca: keren) hehe.
Dalam buku pengantar ilmu komunikasi karangan Deddy
Mulyana disebutkan, bahwa bahasa gaul ini
digunakan untuk memproteksi kelompok mereka dari komunitas lain. Sehingga komunikasi
yang mereka lakukan, hanya kelompok mereka saja yang mengerti. Hal tersebut
menunjukan bahwa remaja dalam kelompoknya membuat tata bahasa tersendiri agar
orang lain tidak memahami apa yang dibicarakan atau mungkin agar kelihatan
lebih “gaul”.
Kemudian jika
dikaitkan dengan Karakteristik perkembangan remaja, sesungguhnya perkembangan
bahasa gaul ini di dukung oleh perkembangan kognitif yang menurut Jean Peaget
telah mencapai tahap operasional formal.
Sejalan dengan
perkembangan psikis remaja sebetulnya
mereka sedang berada pada fase pencarian jati diri, pada tahap ini kemampuan
berbahasa pada remaja mulai berbeda meskipun terkadang menyimpang dari norma
umum. Oleh karena demikian kondisi remaja pada tahap ini merupakan kondisi
paling sulit antara berbuat “sama” atau “tidak sama” dengan teman-temannya,
jika mereka berbahasa “tidak sama” artinya mereka tidak akan dapat diterima
dikelompoknya atau mungkin dikatakan sebagai “remaja kolot”.
Sebagai contoh:
Remaja A: eh liat
tu cewek kece badai ?
Remaja B: kece
badai? apa artinya?
Remaja A: “masa
ga tau, ah lo ga gaul ah” itu sama artinya “lo bukan temen gue!”
Berdasarkan
pengamatan sehari-hari, sebetulnya tidak semua remaja menyukai bahasa gaul,
beberapa dari mereka menggunakan bahasa gaul ini hanya untuk diterima di
lingkungannya, banyaknya tekanan eksternal dan pergumulan dalam diri remaja
menyebabkan mereka semakin tidak mengetahui jati diri mereka. Kegelisahan
seperti inilah yang sering disebut oleh remaja sekarang sebagai “kegalauan”, kegelisahan
dimana remaja harus mampu mencari jati diri menuju dewasa. Selain itu istilah
“galau” ini bisa dikatakan sebagai suatu perasaan yang tidak menentu mengenai
suatu hal, dan ini berlaku untuk setiap situasi baik masalah pertemanan,
masalah cinta, sekolah, keluarga dan lain-lain.
Pada masa “galau” ini beberapa remaja mencoba mereduksi perasaan tertekan, kecemasan, stress ataupun
konflik dengan melakukan mekanisme pertahanan diri, baik yang ia lakukan secara sadar atau pun tidak. seperti
yang diungkapkan oleh Freud: “Such defense mechanisms are put into operation whenever
anxiety signals a danger that the original unacceptable impulses may reemerge (Microsoft
Encarta Encyclopedia 2002)”
Freud menggunakan istilah mekanisme pertahanan diri (defence mechanism) untuk menunjukkan proses tak sadar yang melindungi si individu dari kecemasan melalui pemutarbalikan kenyataan. Pada keadaan ini terkadang remaja secara sadar maupun tidak sadar melakukan penipuan diri agar mereka merasa aman, nyaman, dan merasa dalam lingkungan “yang mau mengakui eksistensi mereka”, biasanya mereka mengatakan “ini genk aku, aku nyaman dengan mereka dan teman-teman aku mengenal siapa aku”. Ada yang pura-pura gaul, pura-pura suka, pura-pura eksis, dan hal ini biasanya dilakukan untuk memperlihatkan bahwa mereka sebagai remaja memiliki pemikiran mandiri dan merasa bahwa pemikiran dan keinginannya layak dipertimbangkan oleh orang dewasa.
Bahasa Gaul Merusak Etika Komunikasi
Kehadiran bahasa gaul dalam pergaulan remaja
memang memiliki keunikan tersendiri, namun tidak sedikit pula bahasa gaul ini
malah menimbulkan gangguan komunikasi yang besar. Bahasa gaul menjadi gangguan
komunikasi yang besar karena dapat menyebabkan tidak tercapainya suatu
“commonness” atau persamaan makna dalam menafsirkan suatu informasi. Sedangkan
dalam prinsip komunikasi dijelaskan bahwa, komunikasi dikatakan berhasil jika
komunikator dapat memiliki kesamaan makna/pemahaman informasi dengan komunikannya.
Selain itu apabila dilihat dari hubungan sosial
maka bahasa gaul ini justru dapat menjadi pemecah antar kelompok, dan merusak
etika berhubungan dalam keluarga maupun masyarakat.
Sebagai contoh:
Orang tua: “nak bagaimana sekolah nya?”
Anak: “kepo ah mah!”
Orang tua: “apa??”
Dari contoh dialog diatas dapat dilihat bahwa
bahasa gaul dapat merusak tatanan etika berkomunikasi dalam keluarga, dimana
seorang anak tidak menghargai orang tuanya dengan menggunakan bahasa yang tidak
dapat dimengerti oleh orang tuanya, jika hal ini terjadi maka akan semaikin
besar jurang yang terbentuk antara dunia remaja dan dewasa.
Apa yang seharusnya
dilakukan seorang remaja?
Bahasa gaul saat ini cenderung menyingkat
kata, plesetan kata maupun menciptakan kata lain seperti: ciyuuss, useu, upay,
kepo, stalkin, cengil, gaje, ateng, masbuloh, PHP, boke, badai, beuud, dan
lain-lain (*diam-diam mengamati). Mungkin
hal ini dapat dikatakan sebagai kreatifitas maupun seni berkomunikasi antar
remaja, namun apabila dicermati tentang penggunaan bahasa ini dan digunakan
dalam konteks yang tidak tepat maka bahasa gaul ini akan menjadi gangguan
komunikasi. Oleh karena itu remaja mestinya lebih cerdas dalam menempatkan
bahasa gaul dalam situasi, dan menempatkan bahasa yang layak dalam situasi
lebih formal atau ketika berkomunikasi dengan orang yang lebih tua. Intinya
remaja harus pintar menempatkan dirinya dalam berkomunikasi apakah dengan orang
dewasa, remaja, atau anak-anak.
Apa yang seharusnya
dilakukan orang dewasa?
Pada situasi “rumit” ini seorang dewasa harus
mampu membuka pikiran dan mencoba memberikan pengertian akan pentingnya
komunikasi efektif dalam keluarga ataupun situasi formal lainnya. Orang dewasa
sedikitnya harus mengetahui beberapa jenis bahasa gaul dan keadaan stress/galau
remaja, dengan tujuan untuk lebih memahami remaja dalam bergaul, memberikan
rasa cinta, dan rasa aman, sehingga orang dewasa dapat melakukan suatu tindakan
persuasif dan mengarahkan remaja dalam efektifitas komunikasi dan hubungan sosial.
Dengan kata lain fenomena bahasa gaul ini harus dapat disikapi secara serius
dan orang dewasa seharusanya dapat melakukan tindakan perbaikan terhadap
penggunaan bahasa gaul dan memberikan pengertian akan pentingnya penggunaan
bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Kemudian dengan adanya sikap saling memahami semoga hubungan seorang dewasa dan remaja akan semakin baik
dan berkualitas.***
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar anda disini, terima kasih.